Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Islam mengajak umat agar senantiasa menjaga lisan. Dengan begitu,
lisan menjadi selalu digunakan untuk sesuatu yang baik, tidak
bertentangan dengan kehendak Allah swt.
Rasulullah SAW bersabda, “Lisan
orang yang berakal muncul dari balik hati nuraninya. Maka ketika hendak
berbicara, terlebih dahulu ia kembali pada nuraninya. Apabila ada
manfaat baginya, ia berbicara dan apabila dapat berbahaya, maka ia
menahan diri. Sementara hati orang yang bodoh berada di mulut, ia
berbicara sesuai apa saja yang ia maui.” (HR. Bukhari-Muslim).
Tidak ada kebaikan dari kebanyakan obrolan (bisikan) mereka
kecuali pembicaraan orang yang menyuruh bersedekah, berbuat kebaikan,
atau berdamai antarsesama. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena
mencari ridha Allah, kelak Kami memberinya pahala yang besar. (QS 4: 114).
Menjaga lisan dari pembicaraan yang sia-sia sangat ditekankan dalam
agama. Banyak ayat Alquran maupun hadis yang memerintahkan demikian.
Dengan redaksi yang berbeda-beda, kedua rujukan tersebut mewanti-wanti
kita agar hati-hati dalam berbicara.
Lisan menjadi kunci keselamatan sekaligus sumber malapetaka. Orang
yang menjaga lisannya dengan berkata jujur, bertutur santun, serta hanya
berbicara kebaikan akan selamat di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebaliknya, lisan yang berkata kotor cenderung menyudutkan,
merendahkan, menghina, apalagi memfitnah, dan mengadu domba akan
mencelakakan.
Rasulullah SAW pernah bersabda, “Setiap ucapan Bani Adam membahayakan dirinya, kecuali kata-kata berupa amar makruf dan nahi mungkar serta berzikir kepada Allah.” (HR Turmuzi).
Hadis ini menunjukkan rentannya penggunaan lisan oleh seseorang.
Ibarat pedang bermata dua, lisan bisa menyelamatkan sekaligus
membahayakan. Dalam kamus keseharian, sering kali kita mendengar pepatah
mulutmu harimaumu.
Hal serupa juga ditemukan dalam pepatah Arab yang memiliki arti
keselamatan manusia tergantung pada pemeliharaan lisan. Pepatah tersebut
secara substansial sejurus dengan hadis Nabi di atas. Yakni,
lisan
selalu menjadi awal yang menentukan nasib manusia.
Lidah tidak bertulang, begitu kata para jenaka yang
diabadikan dalam sebuah lagu.
Bentuknya elastis, lentur, mudah
digerakkan, menjulur ke mana saja yang dikehendaki. Namun, setiap kata
yang dikeluarkan punya dampak sangat besar.
Tak ada sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata. Begitu juga belum
ada yang mampu menandingi kelembutannya. Bahkan, hal ihwal paling suci,
seperti Alquran dan kitab lainnya, pertama kali disalurkan lewat lisan.
Manfaat dan bahaya lisan tidak hanya berlaku bagi si empunya.
Terhadap orang lain dan lingkungan sekitar juga sama. Begitu banyak
orang yang hidupnya hancur akibat ocehan lisan saudaranya.
Ocehan yang berisi fitnah, tuduhan keji, atau makian sumbing tanpa
dasar yang dibenarkan. Tiba-tiba dalam waktu sekejap, yang awalnya
dipuji kemudian dimaki, awalnya dipuja lalu dihina, awalnya dihormat
lantas dilaknat.
Tentu saja, orang yang berbuat demikian kadar keimanannya
compang-camping. Nabi bersabda, “Tidak akan lurus iman seorang hamba
sebelum lurus hatinya dan tidak akan lurus hati seorang hamba sebelum
lurus lisannya.” (HR Ahmad).
Bahkan, pada taraf tertentu, orang itu tidak dapat dikatakan beriman.
Rasulullah bersabda, “Yang disebut Muslim adalah orang yang lisan dan
perbuatan tangannya membuat orang lain aman dan selamat.” (HR Muslim).
Karena itu, sejatinya sebagai seorang Muslim, kita harus menjaga
perkataan. Sebisa mungkin kita menghindar dari perkataan yang tidak
perlu. Kebiasaan menggosip, melebih-lebihkan pembicaraan, dan membumbui
berita dari katanya ke katanya.
Lebih tegas lagi, Rasulullah bersabda, “Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk, dan melaknat.” Jika yang dilaknat adalah perbuatan dosa, biarlah Tuhan yang melakukan-Nya.
Sebab, sebagai seorang hamba, belum tentu kita lebih suci daripada
orang yang kita maki, lebih mulia daripada yang kita hina.
Akhirnya,
akan lebih bermakna kalau kita renungi perkataan Malik bin Anas dalam
menyikapi perbuatan dosa orang lain.
Ia berkata,
Jangan memandang dosa-dosa orang seolah kamu adalah
Tuhan, perhatikanlah dosa-dosamu sebagai seorang hamba. Kasihanilah
mereka yang terkena musibah (cobaan) dan bersyukurlah kamu yang selamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar